Budaya politik merupakan pola perilaku suatu
masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara,
politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati
oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di
artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan
penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
- Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekwensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
- Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekwensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekwensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
- Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
a. Budaya
politik parokial (parochial political culture)
Budaya
parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan
masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya
kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya
politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya
masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu
rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan
kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini,
kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem
politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Budaya
politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan
sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga
pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu
dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan pelaku
politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial,
maupun keagamaan.
Disebabkan
sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan
diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri
sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar
terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni
keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.
Orientasi
parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang
dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat
dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik
termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina
parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan
orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam
masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat,
terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur
adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian peran poltik.
Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik
sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi
kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam
budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat
kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.
b. Budaya
politik kaula/subjek (subject political culture)
Budaya Kaula
artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak
berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja
tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan
sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif.
Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik
dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti
tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap
partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini
memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan
frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam
aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini
berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya
otoritas pemerintah.
Orientasi
pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung
atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek
(kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak
akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa
dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah
sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang
diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat
diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah
mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah,
serta kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi
budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang
tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam
sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh
karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat
yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem
politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap
itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada
sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya
subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis
(vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai
dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya
siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu
seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.
c. Budaya
politik partisipan (participant political culture)
Adalah
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap
struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai
potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada
budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.
Budaya
partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan
politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang
secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap
struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun
output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau orang
lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga
merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat
dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik.
Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem
politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan
keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran
dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat
partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat,
meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.
d. Budaya
politik campuran (mixed political cultures)
Pada umumnya
kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan
sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan
sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik
antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem
politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal
mencapai harmoni.
Budaya
politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku
kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata
tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah
yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
Seperti
telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial, kaula/subjek,
dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau
disebut budaya politik campuran (mixed political cultures). Adapun tiga bentuk
kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
1.Kebudayaan
subjek parokial (The Parochial-subject Culture)
Pada
masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang
menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas
feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang
lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat
kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial awal dari
parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.
Dapat
dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki
"kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi
yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan
politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada
sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan
kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan
manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu.
Apabila
kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti
itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang aktif dalam politik,
tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan
peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parochial.
Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan
tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai
seorang subjek.
Oleh karena
itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan
aktivitas individu dalam politik.
2.Kebudayaan
subjek partisipan (Subjek Participant Culture)
Peralihan
dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi
proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum
masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan
akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem
yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini
sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat
khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara
itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah
suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian
orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada
masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga
Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.
Masyarakat
dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat mengubah karakter
bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang saling berebut
pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka
harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik mereka sendiri
yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan
subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya
bentuk-bentuk perubahan.
3.Kebudayaan
parochial partisipan (The parochial Culture)
Budaya
politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini
terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan.
Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha
meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut
kultur partisipan.
Persoalannya
ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat
dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada
kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu
pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi.
Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan
infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung
jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar